Selasa, 19 Agustus 2008

Senyum Di Atas KRL

Perjalanan Bogor - Jakarta bukanlah perjalanan yang menyenangkan jika ditempuh pada jam sibuk dan menggunakan KRL ekonomi pula. Begitupun pagi ini yang kurasakan. Peluh bercucuran tak hentinya, membuat kondisi nyaman saja sudah sangat susah untuk terpenuhi, belum lagi jika diiringi makian para penumpang yang mengeluhkan buruknya pelayanan, menambah penat fikiran kita meskipun pagi hari adalah kondisi yang seharusnya kondisi paling fresh dari fikiran kita.

Perlahan kereta berangkat menuju Stasiun Kota. Dalam hati kuhitung satu persatu stasiun yang kulewati, sambil sejenak kulirik jam tangan penumpang disebelahku. ”Ah, masih banyak waktu untuk sampai di kantor..” lirihku. Tiba-tiba tak jauh dariku terdengar teriakan seorang wanita. Ternyata tas yang dibawanya telah tergores rapi oleh benda tajam, dan menyebabkan seluruh isinya berhamburan. Dompetnya tidak berhasil diselamatkan. Lagi-lagi suasana yang tak menyenangkan terjadi. Seperti biasa para penumpang hanya bisa menggerutu.

Alhamdulillah stasiun Manggarai telah kusinggahi, berarti stasiun Cikini tinggal sebentar lagi. Mungkin semua orang dalam kereta ini berpikiran sama denganku, tak ingin berlama-lama lagi berada di dalam kereta ini, dan ingin secepatnya sampai di stasiun tujuan.

Kereta masih berhenti di stasiun Manggarai, seperti biasanya, kereta ekonomi harus menunggu giliran karena kereta ekspres harus didahulukan. Beginilah sistem kapitalis bekerja, sesuatu yang lebih mahal harus lebih didahulukan dari yang lebih murah. Sepuluh menit.. kereta belum juga berangkat. Huh.. benar-benar membutuhkan kesabaran yang lebih. Setengah jam kemudian terdengar sirine kereta api yang kunaiki. Alhamdulillah akhirnya kereta ini berangkat juga menuju stasiun cikini. Waktunya untuk bergerak menuju pintu, karena bila tidak... wah bisa dibayangkan susahnya menuju pintu gerbong kereta pada jam sibuk seperti ini. Perlahan kugerakkan tubuhku mencari celah yang mungkin kulewati menuju pintu. Semua orang yang akan turun berebut menuju pintu, mengadu otot dan strateginya supaya tidak kehilangan waktu berharga untuk bisa mencapai pintu gerbong kereta. Disaat sedang fokus mengadu otot, tiba-tiba terdengar suara dari depan, ”Mas, mau turun di Cikini..?? Silahkan duluan mas..” senyumnya mengembang, penuh keceriaan, tak ada kesan susah di tengah suasana yang membuat kepala terasa mau meledak ini. Seperti setetes embun di padang pasir, senyumnya begitu menyejukkan hati. ”Terimakasih Pak..” sahutku. Perlahan kuingat kembali wajah kakek tua itu, seperti pernah kukenal sebelumnya. Oh iya.. setengah tersentak aku tersadar. Kakek tua itu adalah penjual gorengan di stasiun Cilebut. Senyumnya begitu jernih, tulus dan tanpa pamrih. Sekarang aku baru menyadari, apa yang telah Rasululllah sampaikan ratusan tahun yang lalu, bahwa senyum itu adalah sodaqoh. Hari ini aku telah menerima sodaqoh dari kakek tua itu, karena senyumnya membuat hari-ku lebih sejuk dari sebelumnya, karena senyumnya telah menyadarkanku akan arti sebuah tindakan nyata, tidak hanya sebatas konsep. Ratusan jam yang kulewati dalam sesi-sesi training dimana orang-orang menyebutku sebagai seorang trainer, tapi hari ini aku menemukan seorang trainer sejati, yang mengajar dengan tindakan bukan hanya dengan konsep semata.

Seperti telah dimuat dalam eramuslim.com : http://www.eramuslim.com/oase-iman/senyum-di-atas-krl.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar