Mbok Sum.. begitu kita biasa memanggilnya. Nama aslinya Sumiarsih. Secara fisik, Mbok Sum jelas sangat berbeda dengan Sumiarsih yang akhir-akhir ini wajahnya sering muncul di televisi. Mbok Sum berperawakan kecil, kulitnya hitam, rambutnya hampir semuanya sudah memutih. Jika ditanya usia, ia sendiri tidak tahu kapan ia lahir, tapi di KTP nya tercantum tahun 1944. Berarti kira-kira Mbok Sum berusia 64 Tahun. Di usia nya yang sudah cukup tua itu, tak membuatnya menjadi lemah menjalani hidup. Setiap pagi ia kayuh sepeda tuanya menuju pasar. Jarak yang ditempuhnya bukanlah jarak yang singkat, kira-kira 15 km jarak pasar tradisional terdekat dari rumahnya. Mbok Sum adalah pekerja keras, sejak ditinggal suaminya 15 tahun yang lalu, ia besarkan sendiri anak tunggal nya. Mas Bardi nama anaknya. Kalau tidak salah nama lengkapnya Subardi. Mas Bardi adalah petugas administrasi di kantor Pemda. Kehidupan Mas Bardi tidak jauh dari ibunya, penuh kerja keras dan semangat untuk menjalani hidup.
“Masya Allah.. Le.. Le.. kamu lihat sepeda simbok..??” terdengar suara Mbok Sum sedikit berteriak. Pagi-pagi benar disaat akan berangkat, Mbok Sum mendapati sepeda tua nya tidak ada ditempatnya. Kemungkinan tadi malam ada pencuri yang masuk ke rumah Mbok Sum dan mengambil sepeda tuanya. “Masya Allah, kok ada yang tega ya..” batinku. Tapi Mbok Sum bukan lah orang yang lemah, dia tidak mengeluh akan kejadian ini. Namun pasti yang akan jadi beban pikirannya adalah bagaimana ia akan menjual barang dagangannya ke pasar tradisional tempatnya biasa berdagang. Sepintas kudengar percakapan Mbok Sum dengan anaknya, “Mbok biar saya antar jemput saja ya..” ujar Mas Bardi. Mas Bardi memang memiliki sebuah motor, tapi aku juga heran kenapa pencuri itu tidak mengambil motor Mas Bardi yang jelas lebih mahal harganya, padahal motor Mas Bardi disimpan bersebelahan dengan sepeda Mbok Sum. “Atau mungkin pencuri itu tidak bisa membuka kunci motor Mas Bardi yang dipasang berlapis-lapis ya...” pikirku. Memang yang aku tahu Mbok Sum tidak pernah mengunci sepedanya, karena ia tahu sepedanya adalah sepeda tua yang jarang sekali ada orang yang ingin memiliki sepeda itu. “Ojo le.. biar simbok naek kendaraan umum saja, atau mungkin nanti ada mobil pasar yang bisa simbok tumpangi..” jawab Mbok Sum. “Ndak apa-apalah mbok tak antar saja, pasar itu
Aku begitu termangu mendengar percakapan mereka, dua orang yang menurutku begitu istimewa. Kehidupan yang sulit tak membuat mereka lupa akan arti sebuah amanah. Aku teringat kisah tentang Khalifah Umar saat menerima tamu di rumahnya. Beliau terbiasa mematikan lampu minyak di rumahnya jika tidak digunakan untuk keperluan pekerjaan negara. Jika ada tamu yang datang ke rumahnya akan ditanyakan keperluannya, keperluan pribadi atau keperluan negara, jika untuk keperluan pribadi maka sang khalifah tak akan menyalakan lampu rumahnya, karena minyak untuk menyalakan lampu rumahnya dibiayai oleh Baitul Mal untuk kepentingan mengurus negara, bukan untuk keperluan pribadinya.
Ah.. hari ini aku mendapat sebuah pelajaran berharga. Bukan dari seorang ulama besar atau dari seorang kyai terhormat, tapi dari seorang penjual sayur berhati mulia yang begitu faham akan arti sebuah amanah. Terimakasih Mbok Sum...
Ya Allah berilah hidayah kepada para pemimpin kami, tunjukan kepada mereka akan arti sebuah amanah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar