Ada yang menarik dalam training hari ini. Yaitu mengenai sudut pandang yang biasanya kita gunakan dalam memandang para siswa yang kita ajar. Sesuatu yang menarik ini saya dapatkan saat seorang guru bercerita dalam perkenalan di depan kelas training kami.
”Bapak dan Ibu sekalian, pengalaman saya mungkin tidak sehebat pengalaman Bapak dan Ibu sekalian. Sekolah kami juga tak sehebat sekolah Bapak dan Ibu sekalian. Murid-murid saya adalah anak-anak pinggiran, dengan kelas ekonomi bawah. Lain hal nya jika saya menjadi guru di sekolah favorit, pasti akan banyak sekali siswa-siswa berprestasi yang akan kami hasilkan. Saat ini kami hanya menjalankan fungsi sederhana, yaitu yang penting mereka bisa mengenyam pendidikan saja. Rasanya berat kalau kita berpikir tentang prestasi atau juara-juara dalam lomba-lomba dengan sekolah lain. Apalagi berpikir untuk bersaing dengan sekolah-sekolah mahal disekitar sekolah kami, jelas kami kalah”. Itu adalah sepenggal dari perkenalan beliau, diawal training. Kemudian dilanjutkan dengan perkenalan peserta lainnya.
Saya sedikit gelisah dengan sudut pandang beliau dalam memandang anak-anak didiknya. Untuk memberikan pencerahan terhadap sudut pandang beliau, akhirnya dalam pertengahan training saya sampaikan sebuah cerita, dengan harapan dapat sedikit mengubah kerangka berpikirnya. ”Mungkin selama ini kita merasa usaha dan kerja keras kita tergantung pada seberapa pandainya siswa-siswa kita”, saya mulai membuka cerita. ”Namun ada sebuah cerita yang cukup menarik untuk kita cermati, ceritanya begini :
Suatu hari ada sebuah rumah lelang yang sedang mengadakan pelelangan barang-barang kuno. Banyak barang-barang kuno yang dilelang pada hari itu. Dari mulai peralatan rumah tangga, alat elektronik, kendaraan, buku-buku hingga alat musik. Satu persatu barang-barang itu mulai dilelang. Semua barang sudah terlelang dengan mudahnya, hingga sampai pada barang terakhir yang akan dilelang, yaitu sebuah biola tua. Biola ini terlihat kusam dan tidak menarik. Hampir semua peserta lelang tidak tertarik melihatnya. Namun, panitia tetap membuka lelang untuk biola tua itu. Mereka membuka lelang untuk biola itu dengan menyerahkan harga pertama pada peserta lelang. ”Kami buka lelang untuk biola tua ini dengan harga pembuka dari Anda, silahkan ada yang mau memulai..??”.
”Dua Dollar”, seorang pengunjung membuka harga sambil mengangkat tangannya. ”Empat Dollar”, seorang wanita diseberang meja menanggapi sambil mengangkat tangannya. ”Lima Dollar”, seorang pria bertopi kuning mengangkat tangannya. Kemudian suasana hening sejenak, ”Tujuh Dollar”, seorang wanita tua mencoba ikut berpartisipasi dengan mengangkat tangannya. Suasana kembali hening agak lama, sepertinya akan berhenti di harga Tujuh Dollar. ”Sepuluh Dollar”, terdengar suara agak keras dari seorang berpakaian rapi lengkap dengan jas-nya seperti ingin menutup harga lelang biola tua ini. Panitia sejenak mengamati seluruh peserta lelang, kemudian ia bertanya, ”Baik, ada penawaran lagi..??”. Semua peserta diam, kelihatannya tidak ada peserta lain yang berminat untuk menawar lebih dari sepuluh dollar. Ia mulai mengarahkan mata berkeliling lagi untuk memeriksa apakah ada yang mau memberikan penawaran lagi. ”Sekali lagi saya tanya, apakah ada penawaran lagi..??” ia mulai memastikan apakah lelang akan berakhir di angka sepuluh dollar.
”Tunggu..!!” seorang tua tiba-tiba maju ke depan panggung. Ia membisikkan sesuatu kepada panitia lelang. Dari kejauhan terlihat anggukan persetujuan panitia lelang. Semua peserta tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh laki-laki tua ini. Tak lama kemudian laki-laki tua mengambil biola yang tadi akan di lelang. Semua peserta heran, menebak-nebak apa yang akan dilakukannya terhadap biola tua itu.
Ternyata ia mulai memainkan sebuah lagu dengan biola itu. Perlahan mulai terdengar suara musik yang merdu dan mendayu. Para penonton mulai menikmati permainan biola laki-laki tua itu. Begitu menghayatinya ia sehingga membuat para penonton ikut terlarut didalamnya. Gerakan tangannya begitu lincah. Gesekan demi gesekan dawai biola itu begitu menyentuh perasaan orang-orang yang mendengarnya. Seluruh penonton benar-benar terbawa oleh irama permainannya. Permainannya begitu memukau. Ia sangat menjiwai, dan bermain dengan penuh kesungguhan. Ia benar-benar terlihat memainkan dengan penuh perasaannya, dengan semangatnya, dengan seluruh sentuhan hatinya. Seluruh penonton benar-benar terpukau. Sesaat kemudian sang laki-laki tua menyelesaikan permainannya dengan penuh kesempurnaan. Seluruh penonton terdiam, dan tak lama kemudian terdengar tepuk tangan dan sorak sorai kekaguman dari para penonton. Sang laki-laki tua turun dari panggung, belakangan diketahui bahwa dulu ia adalah seorang maestro biola ternama di kota itu.
Setelah semua penonton tenang, panitia lelang melanjutkan penawaran harga biola tua itu. ”Silahkan penawaran berikutnya, ada yang berani lebih tinggi dari sepuluh dollar..??. ”Dua Puluh Dollar”, terdengar suara dari tengah penonton. ”Lima Puluh Dollar”, sahutan berikutnya. ”Seratus Dollar”, wanita tua kembali bersuara. ”Dua Ratus Dollar” seorang pria separuh baya ikut berpartisipasi dalam penawaran harga. ”Dua Ratus Lima Puluh Dollar”, tawaran berikutnya dari seorang pria berdasi di sudut ruangan. Tak terasa tawar menawar terus berlanjut dan berhenti di titik Dua Ribu Lima Ratus Dollar untuk biola tua itu.
Cerita saya berhenti disini, kemudian saya tanyakan kepada para peserta, ”Apa yang membuat biola tua itu menjadi sangat mahal..??”. ”Karena dimainkan dengan sangat baik oleh sang maestro..!!” serempak para peserta menjawab. ”Tepat sekali. Sang maestro memainkan dengan sempurna, walaupun hanya sebuah biola tua”.
”Itulah perumpamaan yang baik bagi kita sebagai seorang pengajar. Apa yang kita mainkan tidak tergantung biolanya, tidak tergantung bagaimana siswanya, melainkan bagaimana kita memainkan peran kita sebaik-sebaiknya untuk membentuk anak-anak didik kita menjadi jauh lebih mahal dari nilai mereka saat ini. Seperti layaknya sang maestro mampu mengubah nilai sebuah biola tua menjadi sangat mahal dimata para peserta lelang”.
”Bagaimanapun kondisi anak didik Anda, mengajarlah dengan hati dan penuh kesungguhan, karena Andalah Pemainnya Bukan Mereka...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar